Biang Hoax = Tukang Fitnah

Presentation1.png

Menonton film ke-18 James Bond yang berjudul Tomorrow Never Dies di tahun 1997, waktu itu saya berpikir ceritanya terlalu lebay. Bagaimana mungkin seorang bos media dapat mengadudomba negara-negara dunia untuk masuk ke Perang Dunia III? Bayangan saya media massa dikendalikan oleh pemerintah. Jadi, yang bisa bikin perang itu negara. Bukan cukong media.

Tapi setelah sekian tahun, saya sadar ternyata saya yang terlalu naif. Walau dalam skala yang lebih kecil, saat ini media mengadudomba sudah hal yang biasa. Lihat saja -misalnya- Umatuna.com. Menulis dua ‘berita’ dengan judul yang berbeda, tapi intinya sama: serangan PP Muhammadiyah terhadap KH Said Aqil. Padahal setelah di-klik, isi dua ‘berita’ itu sama persis dan sama sekali tidak menyebut PP Muhammadiyah! Tapi yang menyebarkan ‘berita’ itu banyak.

Seperti Dementor, media-media seperti ini hidup dari menghisap semangat yang tinggi orang-orang yang sabarnya pendek.

Akhir 80an, Frieze, Grimmett dan Pittel membuat teori tentang lama waktu yang dibutuhkan untuk menyebarkan sebuah hoax dari satu orang kepada sejumlah n-orang yang lain. Dengan asumsi orang-orang itu saling berhubungan, ternyata waktunya berbanding lurus dengan ~ log(n). Sangat pendek! Dan asumsi itu terpenuhi di masa medsos sekarang ini.

Bagaimana supaya kita tidak menjadi bagian dari penyebaran hoaxes? Menurut saya intinya pada rasa malu dan takut.

Banyak orang yang sekali dua menyebarkan hoaxes, diingatkan, terus ngeles, atau minta maaf atau bahkan tidak ada tanggapan sama sekali. Tapi setelahnya tetap saja menyebarkan hal-hal serupa. Tidak ada perubahan perilaku. Bisa jadi ini karena tidak ada rasa malu. Parahnya, seorang tokoh [kalau saya sebut namanya Anda pasti tahu orangnya] berpendapat bahwa menyebarkan hoaxes itu wajar karena medsos bukan forum ilmiah dan penggunanya tidak punya banyak waktu untuk cek-ricek.

Diberi ayat Al Quran, katanya kita harus berpijak pada kenyataan. Padahal orang yang sama sangat anti terhadap lokalisasi [judi dan pel***ran] yang juga berpijak pada konsep ‘kenyataan’.

Sebagai orang beragama, kita harus takut menyebarkan hoaxes. Nabi mengatakan, “Sesungguhnya kedustaan mengantarkan kepada … neraka” [HR Bukhari-Muslim]. Nabi juga “membenci ‘katanya dan katanya’” [HR Abu Hurairah], apalagi mereka yang “menjadikan dugaan sebagai kendaraan” [HR Abu Dawud] atau driver dalam bertindak.

Bisa jadi hilangnya rasa malu dan takut itu karena kata hoax maknanya dianggap masih halus. Mungkin efeknya akan beda kalau langsung saja kita sebut hoax itu fitnah. Akun penyebar hoax = tukang fitnah.

Bila Dementor tidak bisa memakan orang yang punya Patronus Charm, media dan akun penyebar hoaxes tidak akan dapat memanfaatkan orang-orang yang hatinya sareh, jernih dalam menerima dan membaca berita. Kuncinya malu dan takut.



Leave a comment