Bahasa adalah senjata

Image result for arrival film

Saya pernah bilang ke orangtua minat untuk kuliah di jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Mereka kaget, walau hampir tanpa ekspresi, dan bertanya, “Kamu kuliah Sastra mau jadi apa?”

Jangan tanya mereka apa itu sastra. Mereka hanya tahu sastra itu baca puisi dengan gaya yang aneh di Radio Khusus Pemerintah Daerah (RKPD) Lumajang setiap Minggu sore. Orangtua saya hanya lulusan SD (ibuk malah tidak lulus), tapi saya yakin pendapat ini mewakili pandangan banyak orang kita. Belum lagi pendidikan SMA yang membagi penjurusan ke dalam kelas IPA, IPS, dan Bahasa. Urutan itu saya yakin bukan tanpa alasan dan tanpa efek samping.

Bila Anda punya pandangan yang sama tentang bahasa, inilah saatnya Anda harus menonton Arrival.

Film ini bercerita [awas spoiler!] tentang kedatangan heptapods (alien berkaki tujuh) di Bumi. Untuk bisa berkomunikasi dengan mereka, para ilmuwan yang dipimpin seorang ahli bahasa dan seorang fisikawan/matematikawan harus memecahkan bahasa alien yang berbasis logograms/logographs berbentuk lingkaran. Setelah manusia berhasil memecahkan bahasa asing itu, baru aliens menyampaikan kalau kedatangan mereka untuk menyerahkan sebuah senjata. Dunia gempar, negara-negara saling curiga. Hanya tokoh utama yang mendalami terus dan akhirnya menemukan bahwa senjata yang dimaksud adalah bahasa yang telah mereka pelajari. Bahasa alien itu merupakan senjata karena yang menguasainya akan menjadi kasyaf (terbuka pintu kegaiban) terhadap masa depan! Dalam bahasa fisika: waktu tidak lagi bersifat linear, tapi nonlinear.

Memang ini film fiksi, tapi jangan terburu bilang ceritanya tidak masuk akal. Ide film berangkat dari hipotesa Sapir-Whorf, bahwa bahasa menentukan bagaimana si penutur berpikir dan bahwa bahasa dapat mempengaruhi kemampuan kognitif penutur. Pembuatan film Arrival juga menggunakan keilmuan tiga professor bahasa dari McGill University [Jessica Coon, Morgan Sonderegger, dan Lisa Travis] dan matematikawan Stephen Wolfram dan anaknya sebagai konsultan. Intinya: Ilmu Bahasa itu bukan ilmu main-main!

Karena itu miris ketika melihat sebagian dari kita yang dalam kehidupan sehari-hari dengan bahasa seakan tak peduli apalagi menghargai, tapi dalam hitungan hari tiba-tiba dapat menjadi seorang ahli. Saya bukan mengatakan kita tidak boleh mengungkapkan pendapat pribadi, tapi kita harus tetap tahu adab, tahu diri. Jangan sampai kebablasan: inginnya jadi ahli bahasa, tapi jatuhnya jadi ahli mencaci.



Leave a comment